Tidak Hanya Perempuan, Laki-Laki Bisa Jadi Korban Pelecehan Seksual

Diperbaharui : February 16, 2022

Dalam artikel ini

Girls, dari jaman baheula, pelecehan seksual identik dengan perempuan sebagai korban, dan laki-laki sebagai pelaku. Setuju, nggak? Hal ini tertanam sudah sejak lama, Girls, dan menjadi suatu ‘kebenaran sosial’ bagi masyarakat secara dominan, terutama di Indonesia.

Mari Kita Perjelas, “Apa Itu Pelecehan Seksual?”

Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan  tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual (Winarsunu, 2008). Sumber lain, yaitu National Sexual Violence Resource Center (NSVRC) membagi kekerasan seksual ke dalam empat jenis, yaitu pemerkosaanpenetrasi, pemaksaan seksual, dan kontak seksual yang tidak diinginkan.

Beberapa pandangan kelompok menilai bahwa laki-laki tidak memiliki peluang menjadi “korban”, dan meski menjadi “korban”-pun, laki-laki tidak perlu merasa dirugikan. Sebaliknya, laki-laki yang menjadi korban yang ‘beruntung’. Girls, padahal sebenarnya (keadaan normal), secara fisiologis bila manusia mendapat rangsangan seksual, akan memberikan respon. Rangsangan seksual tersebut terjadi dalam satu siklus respon seksual, yang dibagi menjadi empat fase yang harus dilewati. Fase tersebut adalah fase rangsangan, fase datar, orgasme, dan fase resolusi. Fase ini secara normal terjadi pada korban pelecehan seksual, namun tidak berarti korban pelecehan seksual menikmatinya, karena pada kenyataannya ini berada di luar kehendak mereka.

Jadi, kuncinya ada pada hal yang ‘tidak dikehendaki’ oleh korban ya, Girls. Terdapat unsur pemaksaan seksual di dalamnya.

Stereotype Maskulinitas Bukan ‘Kebenaran Sosial’

‘Kebenaran sosial’ tersebut bisa dikatakan berasal dari stereotype maskulinitas untuk laki laki, dan feminisme untuk perempuan. Stereotype dalam konteks terkait dengan kepribadian, peranan, perilaku, pekerjaan, dan orientasi seksual. Sebagai contoh, laki-laki digambarkan sebagai pihak yang lebih kuat, berkuasa, dan  rasional, sementara perempuan dianggap sebagai pihak yang lebih lemah, rapuh, dan  emosional.

Stereotype semacam ini akhirnya menjadikan hal-hal tersebut seolah mutlak dan memang sudah kodrat. Bahkan, Indonesia memiliki Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, mengingat perempuan sering terlapor mengalami kekerasan atau pelecehan seksual, dan wajib untuk mendapat perlindungan sebagai seorang manusia. Ini baik adanya untuk perempuan agar mendapat rasa aman.

Dalam beberapa aspek, stereotype maskulinitas tersebut menempatkan laki-laki dalam keadaan tidak aman, Girls. Seperti pada kasus pelecehan seksual yang dialami laki-laki. Laki-laki yang digambarkan sebagai pihak yang lebih kuat, dan memiliki kuasa lebih, dalam benak beberapa kelompok, tidak mungkin menjadi korban pelecehan seksual. Padahal, siapapun bisa jadi korban terlepas dari apa gendernya, termasuk laki-laki.

Pelecehan Seksual Terhadap Laki-Laki juga Terjadi di Belahan Dunia Lain

Office For National Statistics mempublikasikan hasil survei korban perkosaan atau penyerangan dengan penetrasi (termasuk percobaan) yang dialami oleh laki-laki Inggris usia 16-59 tahun sejak umur 16 tahun, menurut jenis kelamin, dari akhir Maret 2017 sampai akhir Maret 2020. Hasilnya adalah, laki-laki berumur 16-19 tahun (10,9%), 20-39 tahun (54,7%), dan 40-59 tahun (17,8%), pernah dilecehkan oleh sesama laki-laki.

Beralih dari Inggris, data dari US Equal Employment Oppoortunity Commision menunjukkan telah terjadi pelecehan seksual terhadap laki-laki pada 2011 (16,1%), dan pada 2013 (17,6%). Kemudian pada 2015, seperempat pria di Amerika Serikat (24,8% atau 27,6 juta) mengalami beberapa bentuk kekerasan seksual kontak, dan 3,5%-nyamengalami kontak kekerasan seksual dalam 12 bulan sebelum survei (National Sexual Violence Resource Center).

Pelecehan seksual bisa terjadi di luar ruangan, maupun di dalam ruangan. Kasus pelecehan seksual terlapor pernah terjadi di rumah korban (21,7%), rumah pelaku (30,5%),  tempat umum (10,2%), diskotik atau sejenisnya (7,7%), dan lain-lain (16,7%). Tentu saja ini  mengakibatkan sakit secara fisik dan mental. Korban laki-laki di antaranya mengalami cedera  fisik (39,2%), memar-memar (18,1%), tergores (20,2%), memar parah atau pendarahan dari  luka (15,5%), cedera fisik lainnya (7,3%), permasalahan mental dan emosional, (47%), kehilangan kepercayaan pada orang lain dan kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain (41,5%), berhenti bersosialisasi 31,7%), bahkan mencoba bunuh diri (11,8%). Sebanyak 32,5%  laki-laki tidak menganggap hal ini kejahatan, melainkan hanya kesalahan, dan sebanyak 7,6%  melihat hal ini sebagai sesuatu yang ‘sudah terjadi’ (Office For National Statistics, Maret 2017 – Maret 2020).

Fokus Pada Keadaan Sekeliling Kamu Saat Ini

Respon masyarakat Indonesia terhadap beberapa kasus laki-laki sebagai korban pelecehan seksual juga masih belum bulat. Seperti pada kasus pelecehan seksual terhadap salah seorang pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, yang berakhir membuka suara terkait pelecehan yang terjadi padanya selama bertahun-tahun selama bekerja pada 2015, sementara untuk perundungan sudah dimulai pada 2012. Ingin melawan, namun ia bertahan demi menghidupi ibu, istri, dan anak tunggalnya.

Berharap hal ini berhenti, sebaliknya, tindak pelecehan ini berlanjut. Ia melaporkan hal tersebut pada semua pihak yang sekiranya bisa menolong, dimulai pada 2017. Mirisnya, tidak ada respon yang serius akan hal ini baik dari pihak kantor, kepolisian, maupun komisi perlindungan HAM. Korban justru mendapat reaksi negatif dari pihak-pihak yang seharusnya menolong korban. Setelah rilis persnya pada Rabu, 1 September 2021 viral di media sosial, Girls, kepolisian dan pihak kantor baru bergerak.

Kasus lain, lebih jauh kita mundur sedikit. Seorang fotografer remaja laki-laki berusia 16 tahun yang dilecehkan selama tiga hari oleh biduan perempuan berumur 28 tahun. Komentar dari masyarakat justru menjatuhkan mental korban dan menuduh seolah korban menikmatinya. Sudut pemberitaan jarang sekali menyorot kasus ini, begitupun dengan judul pemberitaan. Ketika pemberitaan berlangsung, lucunya malahan Kode Etik Jurnalistik yang kemudian bermasalah terutama pada kasus pelecehan seksual yang tidak jarang menyentuh ranah anak laki-laki. Kasus pelecehan seksual tidak pernah memandang gender, dan umur Girls.

Seharusnya…

Girls, tanggapan terhadap hal seperti ini tentunya tidak objektif dan mendiskriminasi laki-laki dari masyarakat Indonesia yang juga membutuhkan perlindungan hukum, berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum dalam Undang-Undang 1945 pada pasal 28D ayat 1. Indonesia memiliki kewajiban  untuk menegakkan hukum bagi seluruh rakyatnya. Kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kita masih perlu memperluas pandangan, dan mulai memberikan dukungan pada laki-laki sebagai korban kekerasan seksual untuk berani membuka suara.

Share artikel

4.2 5 votes
Rate this article

4 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Paulina Gurning
3 September 2021 19:44

Tulisan yg bgs memberi masukan kpd kita, khususnya buat remaja laki2 spy lbh berhati2 dan waspada sll baik dimanapun berada..

Sutanto
3 September 2021 19:50

Bagus tulisannya

Jhon Yason
3 September 2021 20:26

ini penting sih, utk mengedukasi dan berjaga-jaga.
Karena saat ini semua bisa jadi korban juga

Valen
3 September 2021 22:37

Bagus ini. Memang kita perlu terus disadarkan, salah satunya melalui melalui tulisan seperti ini.

Baca artikel lainnya

Beragam insight dan tips untuk meningkatkan pengetahuanmu